Senin, 21 Maret 2016

1/4 abad

     Ketika matahari sudah mulai meredupkan cahayanya, aku segera mengambil tas ransel kecil yang tergeletak di sudut meja kerjaku dan selekasnya berlari menuju kos. Mencampakkan tubuh ini ke dalam keindahan sebuah kasur. Sudah tak sanggup lagi aku menopang punggungku hari ini, keletihan melanda ketika hari mulai petang dan pekerjaanku masih menumpuk di atas meja. Sudah terbayangkan dalam benakku bagaimana rasa nikmatnya kasur kesayanganku di kota rantau ini.

"huhuuuhuhuuuuu.."
kulirik segala sudut ruangan kos ku yang mulai mencekam ketika matahari terbenam. Tersentak aku melihat Vebri menangis di sudut kos ku yang begitu kecil ini sembari memegang selembar kertas emas ditangannya.

     Hampir tak pernah kulihat Kak Vebri menangis lama dan tersedu-sedu. Selama 2 tahun tinggal 1 kos, tak pernah sedikitpun kulihat dirinya meneteskan air mata. Hingga hari ini kejadian yang tak pernah ku duga sebelumnya. Bingung apa yang harus kulakukan kini.

     Aku mulai melangkah mendekatinya sambil membawa segelas air putih untuk sekadar menenangkannya. Sedikit kuintip apa yang ada dibalik secarik kertas keemasan itu.

"Ini diminum dulu kak airnya, udah yang sabar kak.." ucapku sambil menyodorkan segelas air putih di depannya tanpa kutahu apa sebabnya Kak Vebri menangis. Setelah lama tanganku yang membawa gelas itu terulur tanpa adanya sambutan dan tangisannya pun tak kunjung mereda. Akhirnya ku beranikan diriku menepuk pundaknya perlahan sambil menenangkannya.

"Udah kak, udah... nangis itu tidak menyelesaikan masalah," kataku. Bukannya reda, Kak Vebri justru makin sesenggukkan. Bingung sudah aku dibuatnya. Ku tunggu dia hingga lelah meringkuk dalam tangis sendunya.

"Chann.." ucapnya lirih.

"Ya kak?" sahutku sambil kembali menyodorkan segelas air putih yang masih penuh kedepannya. Akhirnya Kak Vebri meminum sedikit air itu dan memulai fase menenangkan diri.

"Kak Vebri kenapa nangis?" tanyaku kembali dalam keheningan kos malam itu.

"Kamu tak kan pernah tau apa yang kurasakan, karena kamu belum pernah mengalaminya. Waktumu masih panjang, mungkin saja pergaulanmu bisa meluas," katanya ditengah isakan tangis.

"Itu surat apa kak?" tanyaku polos

"Bacalah," kata Kak Vebri sembari mengulurkan surat keemasan yang dari tadi digenggamnya erat sambil menangis tersedu-sedu.

Alis ku terangkat keatas ketika ku baca kata pertama dengan huruf yang paling besar diantara deretan huruf lainnya. U N D A N G A N

Huruf - huruf selanjutnya Sulistyo dan Yuni beserta foto kedua wedding kedua mempelai menghiasi sampul depan surat keemasan itu. Minggu, 20 Maret 2016 di Gedung Wanita Pukul 10.00 WITA-selesai

"Undangannya kenapa kak?" tanyaku penuh kepolosan.

Hening sesaat. Entah apa yang terlintas dipikiran wanita yang kini menginjak usia 25 tahun. Wanita matang dan punya karier yang tak perlu diragukan lagi.

"Dia mantan kakak?" Tanyakuu ragu - ragu sambil menunjuk foto Sulistyo dalam undangan itu. Bingung apa yang harus aku perbuat dan katakan. Ku putar semua isi otakku untuk menerka apa yang sedang terjadi.

"Bukan," jawabnya dalam suasana yang masih sendu.

"Terus kenapa Kak Vebri nangis?" tanyaku bingung sebenarnya apa sih masalahnya hingga begini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar